Oleh: Hasanul Rizqa
Umumnya dukungan untuk Israel datang dari negara-negara Barat, termasuk Amerika Serikat (AS) dan kebanyakan anggota Uni Eropa. Mereka kerap membela pihak yang jelas-jelas sedang menjajah Palestina itu. Walaupun berkali-kali melanggar hukum internasional, Israel tetap didukungnya dengan dalih bahwa entitas zionis tersebut berhak “membela diri.”
Di antara seluruh negara anggota Uni Eropa, Irlandia menunjukkan anomali. Berbeda dengan umumnya mereka, Dublin selalu menegaskan dukungan untuk Palestina. Pemerintah dan banyak warga setempat memandang Israel sebagai penjajah yang menyebabkan penderitaan berkepanjangan bagi rakyat Palestina selama puluhan tahun.
Irlandia berada di Benua Eropa dan secara ekonomi pun termasuk kelompok negara-negara maju pasca-Perang Dunia II. Menggolongkannya ke dalam kubu Utara (Global North), dengan demikian, bukanlah sebuah kekeliruan. Namun, umumnya masyarakat Irlandia lebih suka mengidentifikasikan diri dengan Selatan (Global South)—istilah yang mengacu pada negara-negara “berkembang” atau bahkan “terbelakang” di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Sebab, bangsa Irlandia berbagi banyak pengalaman pahit yang sama dengan mereka, semisal imperialisme dan kolonialisme.
Karena itu, tidaklah sulit menemukan orang Irlandia yang dengan lantang menyuarakan dukungan untuk Palestina, termasuk dalam konteks konflik baru-baru ini. Sejak agresi Israel atas Jalur Gaza dimulai pada 27 Oktober 2023, pelbagai demonstrasi dilakukan masyarakat negara tetangga Britania Raya itu. Mereka menuntut gencatan senjata permanen dan mengecam genosida yang dilakukan pasukan militer zionis.
“Keadaannya sama seperti yang kita saksikan terjadi di Afrika Selatan dahulu (di bawah rezim apartheid 1948-1994). Kami juga merasakan luka yang sama ketika melihat apa yang terjadi pada rakyat Palestina kini,” kata Kirsten Farrelly, seorang aktivis Kelompok Ibu Menentang Genosida (Mothers Against Genocide) kepada NPR, beberapa hari lalu. Setiap pekan, Farrelly dan grupnya mengorganisasi aksi unjuk rasa di depan kantor Kedutaan Besar Israel di Dublin.
Irlandia adalah anggota Uni Eropa yang paling belakangan mengizinkan pendirian kedutaan besar Israel di ibu kota negerinya, yakni pada 1993. Sebaliknya, ia sejak 1980 menyerukan UE agar mengakui kedaulatan Palestina sebagai sebuah negara merdeka. Bagaimanapun, hingga kini negara Irlandia belum mengakui kedaulatan Palestina walaupun parlemen meloloskan mosi untuk itu. Sebab, pemerintah menghendaki pengakuan tersebut sebagai bagian dari langkah politik UE yang lebih luas, bukan Dublin semata.
Pahitnya penjajahan
Irlandia dan Palestina berbeda satu sama lain, baik dalam konteks geografis, budaya, maupun agama. Namun, keduanya berbagi pengalaman yang sama, yakni pernah dijajah Inggris. Selama 120 tahun, Irlandia berada di bawah kendali Britania Raya. Barulah sejak 6 Desember 1921, negeri ini meraih kemerdekaannya. Adapun Palestina jatuh ke tangan Inggris sejak 1920, seiring dengan runtuhnya Kekhalifahan Turki Utsmaniyah pasca-Perang Dunia I.
Kebanyakan orang Irlandia juga menaruh antipati pada sosok Arthur James Balfour, perdana menteri Britania Raya periode 1902-1905. Ia adalah penanda tangan surat yang berisi dukungan Inggris terhadap berdirinya “tanah air Yahudi” di Palestina. Deklarasi Balfour (1917) mengawali penjajahan Israel atas Bumi al-Quds.
Beberapa dekade sebelum menjadi perdana menteri, Balfour menjabat sebagai sekretaris Kabinet Inggris untuk Irlandia pada 1880-an. Ketika itu, ia menentang gagasan yang menghendaki Irlandia memiliki otonomi untuk mengatur urusan dalam negeri. Baginya, Irlandia mesti berada di bawah kontrol London secara langsung. Politikus tersebut juga diketahui memerintahkan aparat untuk menembaki para pengunjuk rasa di Mitchelstown, Irlandia, pada 1887. Karena itu, masyarakat Irlandia bahkan hingga saat ini menjulukinya sebagai “Bloody Balfour.”
Salah satu peristiwa kelam yang terjadi dalam masa penjajahan Inggris di Irlandia adalah The Great Irish Famine 1845-1849. Menurut Tim Pat Coogan dalam The Famine Plot: England’s Role in Ireland’s Greatest Tragedy (2012), wabah kelaparan itu memang diawali serangan hama Phytophthora infestans, yang menyebabkan gagal panen di banyak kebun kentang setempat sejak Agustus 1845. Namun, keadaan semakin genting karena pemerintah pusat di London terkesan lamban dalam mengambil tindakan. Dari hari ke hari, bulan ke bulan, harga bahan pangan terus meroket sehingga tidak terjangkau kebanyakan warga. Anak-anak dan para ibu didera malnutrisi akut. The Great Irish Famine tercatat merenggut nyawa tidak kurang dari satu juta orang Irlandia.
Kesamaan lain yang dimiliki Irlandia dan Palestina adalah pernah menghadapi ganasnya Kepolisian Kerajaan Irlandia (Royal Irish Constabulary). Kelompok aparat bersenjata ini dibentuk oleh perdana menteri Britania Raya 1940-1945, Winston Churchill, sesudah Perang Dunia I. Tujuannya untuk membendung grup militan Tentara Republik Irlandia (Irish Republican Army, IRA), yang ingin membebaskan Irlandia dari cengkeraman Inggris. Mereka disebut pula sebagai The Black and Tans karena warna seragamnya.
Pasukan The Black and Tans kerap menarget bukan hanya milisi IRA, tetapi juga warga sipil Irlandia. Bagaimanapun, gelombang perjuangan Irlandia sejak 1919 berhasil melawan tekanan dari militer Inggris. Sesudah Irlandia merdeka pada Desember 1921, sebagian aparat The Black and Tans dikirim oleh London ke Mandat Inggris di Palestina. Di sana, mereka dikerahkan untuk menegakkan kekuasaan kolonial atas sebagian besar penduduk Arab Palestina.
Gubernur Inggris pertama di Yerusalem, Ronald Storrs, memberikan kesaksian dalam bukunya yang terbit pada 1937, Orientations. Menurut gubernur yang menjabat antara tahun 1917 dan 1926 itu, taktik kolonial yang dipraktikkan di Irlandia juga diterapkan di Timur Tengah demi keuntungan politik Inggris. Storrs menilai, arus kedatangan imigran Yahudi ke Palestina pada tahun-tahun itu, “jika bukan untuk membentuk Negara Yahudi (Israel),” mungkin juga bertujuan "membentuk Ulster Yahudi yang setia di Inggris di tengah lautan orang Arab yang berpotensi menjadi musuh." Istilah ulster mengacu pada proyek perkebunan Inggris di Irlandia Utara. Tampak bahwa ia tidak melihat perbedaan antara nuansa penjajahan di Irlandia dan Palestina.
“Ada korelasi historis yang langsung (antara Irlandia dan Palestina). Banyak kebrutalan Imperium Inggris dipraktikkan pertama-tama di Irlandia,” ujar David Chambers, salah satu podcaster paling populer di Irlandia saat ini, seperti dilansir NPR, beberapa waktu lalu.
Chambers menambahkan, gagasan antikolonialisme sudah lama berkembang di banyak negeri di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Dalam konteks pendudukan Israel di Palestina kini, suara-suara yang menentang penjajahan juga terus bermunculan. Namun, lanjutnya, Irlandia sering dipandang berbeda karena orang-orang mengira ini seperti umumnya negara-negara Eropa—mendukung Israel. Semakin lantang suara Irlandia menentang Israel, harapannya, akan berdampak secara internasional.
“Melihat orang kulit putih berbicara seperti itu, saya pikir hal itu mempunyai dampak internasional,” kata Chambers.
Menurutnya, hingga saat ini banyak orang Irlandia menganalogikan antara konflik Israel-Palestina dan pertempuran Katolik-Protestan yang pernah terjadi selama beberapa dekade di Irlandia Utara. Konflik yang dikenang sebagai The Troubles ini berakhir dengan perjanjian damai pada 1998, yang menjadikan Irlandia Utara sebagai bagian dari Britania Raya.
“Ketika kami (orang Irlandia) melihat apa yang terjadi di Palestina—banyak warga sipil ditembak mati saat mengibarkan bendera putih—itu langsung memantik ingatan kami. Kami seperti melihat peristiwa pada 1970-an di Derry itu terjadi lagi,” katanya.
Peristiwa yang dimaksud adalah aksi unjuk rasa di Derry, Irlandia Utara, pada 30 Januari 1972. Ketika itu, aparat Inggris menembaki puluhan warga lokal yang tidak bersenjata dalam aksi demonstrasi hak-hak sipil. Kejadian ini juga dikenang sebagai The Bloody Sunday.
Dukung Palestina
Sejak akhir Januari 2024, AS dan delapan negara Barat lainnya menghentikan bantuan untuk UNRWA, badan PBB yang bertugas menangani para pengungsi Palestina. Mereka menuding bahwa 12 pekerja UNRWA ikut serta membantu Hamas dalam serangan ke Israel pada 7 Oktober 2023 lalu.
Menanggapi keputusan itu, Liga Arab memandang penangguhan pendanaan untuk UNRWA seperti “menghukum jutaan pengungsi Palestina.” Hal itu hanya akan semakin menyengsarakan warga sipil, terutama di Jalur Gaza yang sedang menderita akibat genosida oleh Israel.
Bertolak belakang dengan tindakan AS dan kawan-kawan, Irlandia menolak menghentikan bantuan untuk UNRWA. Bahkan, Dublin bersedia menambah dana 20 juta euro atau sekitar Rp 337 miliar untuk badan PBB tersebut. Akhirnya, Uni Eropa kembali memproses bantuan finansial ke UNRWA sebesar 68 juta euro per 1 Maret 2024.
Dukungan untuk Palestina disampaikan, baik oleh pihak pemerintah, parlemen, maupun warga Irlandia umumnya. Bila pemerintah Irlandia tetap berkomitmen memberikan bantuan pendanaan untuk UNRWA, parlemen menyerukan sanksi terhadap Israel, termasuk seruan embargo senjata internasional. Mosi yang diajukan empat senator Irlandia—Frances Black, Lynne Ruane, Alice Mary Higgins, dan Eileen Flynn—itu juga menghendaki pencegahan masuknya senjata AS ke Israel melalui wilayah udara dan pelabuhan Irlandia.
Di antara negara-negara Benua Biru, Irlandia dapat dikatakan selalu terdepan dalam membela Palestina. Dublin dengan tegas menyatakan, rakyat Palestina pun memiliki hak yang sama untuk merdeka, memiliki negara, dan tanah air sendiri.